Wednesday, November 19, 2008
MELAKA
DERITA SITUKANG BECA
Din,
Tukang beca kurus tubuhnya begigi dua,
peluhnya merimbas dpan gereja kota Melaka,
lalu mengadu kepada pengunjung ke situ,
saya;
kisah deritanya rakyat negeri kaya.
Antara dia dengan Menteri Perdana Melaka,
bezanya laksana lumpur di sungai,
dengan bintang kajora;
becanya sebuah dari 280 dalam kota tua,
digayut hidunya dan keluarga,
pada pelancong semua bangsa.
Sehari seringgi kekadang dua puluh rial,
memang rezekinya tidak dik sial,
tulang belangka dan keting berpintal,
di ligat kayuh basikal,
daging jadi kayu tulang laksana besi.
"Kami macam merempat dibumi sendiri,
puas mengadu ke sana ke mari,
wakil kami hingga kepada menteri,
namun, sedih sebanyak bintang di langit tinggi,
derita kami mereka tidak peduli."
saya menelan kisahnya;
penarik beca menelan air mata lara,
sejak pagi hingga mentari ke barat,
seorang pelancong tidak menenggek di becanya;
"Allah, deritanya hidupku ini," suara sedih.
Pada ketika saya melangkah pergi,
tertenggek atas becanya gadis ayu,
kepalanya terhias bunga Melaka,
ku renung kepada dua ulas bibirnya,
senyumannya semanis madu,
madahnya lunak "thank you".
Tukang beca membesi betisnya,
menerjah sepasang peda waja,
beca merangkak laju ke muka,
gadis masih merenungku jua,
mungkin katanya "good by uncle."
" ...Al Humaira,
hendakku bawa perahuku sempit,
nakku tinggal tak sampai hati ...,
I love you," madah hatiku,
gadis hilang di balik kota.
Kota Melaka ...................................Mokhtar Petah
Din,
Tukang beca kurus tubuhnya begigi dua,
peluhnya merimbas dpan gereja kota Melaka,
lalu mengadu kepada pengunjung ke situ,
saya;
kisah deritanya rakyat negeri kaya.
Antara dia dengan Menteri Perdana Melaka,
bezanya laksana lumpur di sungai,
dengan bintang kajora;
becanya sebuah dari 280 dalam kota tua,
digayut hidunya dan keluarga,
pada pelancong semua bangsa.
Sehari seringgi kekadang dua puluh rial,
memang rezekinya tidak dik sial,
tulang belangka dan keting berpintal,
di ligat kayuh basikal,
daging jadi kayu tulang laksana besi.
"Kami macam merempat dibumi sendiri,
puas mengadu ke sana ke mari,
wakil kami hingga kepada menteri,
namun, sedih sebanyak bintang di langit tinggi,
derita kami mereka tidak peduli."
saya menelan kisahnya;
penarik beca menelan air mata lara,
sejak pagi hingga mentari ke barat,
seorang pelancong tidak menenggek di becanya;
"Allah, deritanya hidupku ini," suara sedih.
Pada ketika saya melangkah pergi,
tertenggek atas becanya gadis ayu,
kepalanya terhias bunga Melaka,
ku renung kepada dua ulas bibirnya,
senyumannya semanis madu,
madahnya lunak "thank you".
Tukang beca membesi betisnya,
menerjah sepasang peda waja,
beca merangkak laju ke muka,
gadis masih merenungku jua,
mungkin katanya "good by uncle."
" ...Al Humaira,
hendakku bawa perahuku sempit,
nakku tinggal tak sampai hati ...,
I love you," madah hatiku,
gadis hilang di balik kota.
Kota Melaka ...................................Mokhtar Petah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment