Monday, October 6, 2008

PEMIMPIN

PEMIMPIN

Pada hari berkat aidul fitri,
aku, keluarga ke masjid Putra,
Putrajaya.

Polis lalu lintas berwajah manis,
halang keretaku depan Perbendaharaan negara,
kereta tersadai di situ,
kami berjalan kaki ke baitullah.

Allah ampunkan sang polis itu,
kerana dia aku bermandi peluh ke rumah ibadat.

Manusia berbagai bangsa satu agama,
melimpah ruah dalam masjid agung,
aku dan keluarga ketinggalan rakat awal,
rukuk sujud atas jalan batu,
depan gerbang masjid syuhada.

Allah ampukanlah sang polis itu,
kerana dia aku ditinggal imam,
diketawa para malaikat dan wali.

Selesai khutbah aku duduk tanpa wirid,
dari pintu masjid Dr. Mahathir Mohamad,
melangkah lemah laksana wali,
wajahnya senyum seorang mukmin,
Doaku, "Allah, ampunilah pemimpin kami."

Ketika tangan kanannya kujabat,
jari jemarinya bertulang waja meskin isi,
sinar fikirnya memancar maya,
namun wajahnya dapatku baca,
laksana jejaka ditinggalkan kekasihnya.

Hari raya ketiga, Jumaat mulia,
kusembahyang di masjid sama,
di saf pertama bersama para manusia takwa,
diri masing-masing hakis dosa,
laksana bayi beru menjenguk dunia.

Sekumpulan muslimin mengerumuni pemimpin,
Abdullah Badawi Menteri Perdana,
Senyumannya manis bermadah mesra,
pada ketika kami bersalaman,
jari jemarinya padat isi segarnya.

"Mari kita balik ke Kepala Batas, esok,
kita beraya di kampung kita,"katanya kepadaku.
"Ana tak dapat ke sana,
perut senak makan lemang banyak...,"kataku.
"Apa ni, tak nak balik kampung sendighi ...,"katanya.
Madah pemimpin dan kata saya dalam gurau,
kami ketawa sama, sewarna.

Para jemaah sekitar kami kehairanan,
melihat kami bergurau begitu,
macam saudara kandung seibu,
laksana nelayan seperahu,
gurau kami membendung rasa,
gembira duka menanti Mac tiba.

Apabila Abdullah Badawi meninggalkann kami,
serumpun pertanyaan dari rakan dan taulan,
"Tuan abang Pak Lah ke?"
Saya senyum menatap mereka,
"Al maunah ..., kampung saya,
kampung Pak Lah,
tempat penentu tarikh merdeka,"jawab saya.

"Rupa encik dengan Pak Lah sama," kata mereka.
"Kami keturunan Pattani,
serumpun bangsa,
sama brjihad bangsa, agama dannegara," sahut saya.

"Benarkah dia dipaksa,
akui peralihan rugikan bangsa?"Tanya politikus tua,
"Dengan rela, mungkin paksa,
tak ada dua sahabat berpolitik,
menghilir hingga ke muara ...,
dua musuh sampai ke hujung batas desa,"jawab saya.

Politikus tua mengeluh,
wajahnya kering di bawah bayang,
menara menara masjid mulia,
"Allahu akbar!" laung sang politikus,
"Sayang, Melayu jatuhkan Melayu," suaranya lemah.

Masjid Putera Mokhtar Petah



No comments: